DETAK HIDUP tidak punya FACEBOOK

Sudah lama nga nulis, karena banyak yang kudu dikerjain, baik yang wajib, yang seperlunya dan yang sebisanya. Mumpung masih diinggatkan, jadi langsung saja saya segerakan. Hanya sekedar pembuka kabar, bahwa blog DETAK HIDUP ini tidak memiliki FACEBOOK. DETAK HIDUP yang saya kelola hanya di blogspot.com, dan selebihnya bila ada kesamaan nama "DETAK HIDUP" itu berarti bukanlah saya orangnya. [more]

Proses Sedang Berjalan

Salah satu sifat manusia dalam katagori buruk adalah “terburu-buru”; seperti terburu-buru ingin cepat sampai, terburu ingin cepat selesai, terburu-buru ingin lekas ini dan itu, atau bisa juga tidak kuat berlama-lama, kurang tekun, atau tidak sabaran nunggu.

Padahal kita tahu, bahwa bumi itu setengahnya malam dan setengahnya lagi siang. Di bumi ini kita dapat giliran bertemu malam dan siang. Bila bertemu siang, maka waktu siang itu tidak bisa dipercepat atau diperlambat menjadi malam, dan bila kita berada di waktu malam, maka waktu malampun tidak bisa dipercepat maupun diperlambat menjadi siang. Semuanya kudu antri, kudu giliran, dan semuanya kudu mau nunggu proses yang sedang berjalan dengan rela ataupun terpaksa.

Kalau jarum jam bisa diputar sekehendak kita, namun sang “waktu” tidak akan mengikuti kehendak si pemutar jarum jam. Karena sang “waktu” tidak bisa dipercepat dan tidak bisa diperlambat. Mengingat sunatullah yang berlaku di alam semesta ini, menghormatinya akan lebih adem ketimbang mengikuti prasangka dan menurut diri, karena “apa yang menurut diri itu baik, belum tentu baik menurut Allah, dan apa-apa yang menurut diri itu tidak baik, juga belum tentu menurut Allah tidak baik.
[more]

Ladang Kebaikan

Seumpama ladang. Kefakiran, kemiskinan, … merupakan ladang berbuat kebaikan bagi dermawan. Kejahilan, ketaktahuan, … merupakan ladang berbuat kebaikan bagi ilmuwan atau pengajar. Pekerja, buruh, … merupakan ladang berbuat kebaikan bagi usahawan. Pembeli, merupakan ladang berbuat kebaikan bagi pedagang. Tanah subur adalah ladang kebaikan bagi para penanam

Kapanpun dan dimanapun, sebenarnya kita dapat berbuat kebaikan. Bisa dengan tenaga, bisa dengan pikiran dan harta, karena memang dunia adalah ladang menuju akhirat. Sebagaimana tercantum dalam doa sapujagat yaitu memohon hidup di dunia baik dan di akhiratnya juga baik.

Seumpama ladang bila ditanam sebenih biji sawi saja
lalu ia tumbuh, maka... siapakah yang menumbuhkannya?
lalu ia berbatang ranting, maka.. siapakah yang membatang rantingkannya?
lalu ia berdaun hijau, maka… siapakah yang mendaunkan dan mewarnainya?
lalu ia berbunga indah, maka… siapakah yg membungakan & mengindahkannya?
lalu ia berbuah, maka.. siapakah yang membuahkannya?
lalu ia mengeluarkan aroma, maka… siapakah yang mengharumkannya?
lalu ia berasa manis, maka… siapakah yang memaniskannya?
lalu ia tiada, maka.. siapakah yang bisa meniadakannya?

Laa ilaha illa Allah
Tidak ada yang bisa menumbuhkan, kecuali hanya Allah
Tidak ada yang bisa membatang rantingkan, kecuali hanya Allah
Tidak ada yang bisa mendaunkan dan mewarnainya, kecuali hanya Allah
Tidak ada yang bisa membungakan, kecuali hanya Allah
Tidak ada yang bisa membuahkan, kecuali hanya Allah
Tidak ada yang bisa membuat rasa, kecuali hanya Allah
Tidak ada yang bisa meniadakan, kecuali hanya Allah
karenanya "Fasabbih bismi robbikal’adhiim" Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar.QS. al-Waqi’ah (56) : 74
Subhanallahil a’dhimi wa bihamdih.

Memang.., berbagi itu berat kalau berbaginya terpaksa
Memang.., berbagi itu susah kalau berbaginya jarang
Memang.., berbagi itu sulit kalau tidak mau berbagi
Padahal berbagi itu tak ubahnya dengan menanam
Iya... seperti menanam
Ingatlah bahwa "Hal Jaza-ul Ihsan Illal Ihsan" Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula). QS. ar-Rahman (55) : 60
Meskipun banyak tahu tentang berbagi kebaikan, namun belum tentu mau berbagi kebaikan.
Kalaupun banyak punya ini itu, itupun tak menjamin bisa berbagi.
Kecuali....
Allah Swt kasih pertolongannya
Allah Swt kasih kehendak berbagi ke dadanya
Allah Swt kasih mau berbagi di hatinya
Laa haula wa laa quwwata illa billah

[more]

Menyelami Syukur

Yang di tolong akan merasakan pertolongan, yang merasakan pertolongan biasanya pasti akan menyampaikan rasa terima kasih kepada penolongnya. Namun bila yang tertolong tidak merasakan pertolongan, maka tiada mungkin keluar terima kasihnya yang menandakan kesyukurannya.

Ungkapan terima kasih ini merupakan tanda bahwa tertolong telah berada di rasa yang nikmat dari rasa sebelumnya yang tidak nikmat rasanya. Seperti sulit jadi mudah, tenggelam jadi mentas, terancam jadi aman, sempit jadi lapang, dan seterusnya dan sebagainya.

“… dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ...” [Al-Maa'idah: 2]

Yang menolong bersyukur kepada Allah karena bisa menolong, dan yang tertolong berterima kasih kepada penolongnya. ”Man lam yaskurinnas lam yaskurillah” Siapa saja yang tidak berterima kasih kepada manusia, tidak bersyukur kepada Allah.

Pertolongan dapat dari berbagai macam sebab. Namun hakikatnya hanya Allah yang bisa menolong, karena Dia yang maha menolong. Maha Cepat pertolongannya karena Allah maha dekat. Tiada yang lebih dekat pertolongannya kecuali Allah yang lebih dekat pertolongannya, karena Dia lebih dekat dari urat leher kita.
[more]

Mengamati Syukur

Yang terpengaruh oleh peristiwa akan ketarik masuk dalam pengaruhnya peristiwa itu, kalau kejadiannya itu sedih, maka yang terpengaruh akan ikut sedih, kalau peristiwannya itu gembira, maka yang terpengaruh akan turut gembira. Seperti rasa yang hanyut dalam alunan gesekan biola yang meliuk-liuk iramanya. Padahal sebelumnya biasa-biasa saja.

Yang mudah dipengaruhi akan mudah dipermainkan, salah satu keadaannya mirip dengan anak-anak melihat tukang balon. Bila sudah terpengaruhi maka hasratnya akan tumbuh, bila telah tumbuh maka si anak akan mengikuti maunya hasrat, dan jika hasratnya tidak dipenuhi maka si anak akan kecewa, nangis, atau marah dan berbagai macam ekspresi lainnya yang menunjuk pada sikap-sikap ketaksukaan dan ketakrelaan atas keadaan yang menimpa dirinya.

Disinilah posisi konsennya kita, yaitu keluar dari sikap hidup kekanak-kanakan menuju sikap hidup kedewasaan, dengan terus berupaya menerima bahwa hidup itu merupakan anugerah Ilahi yang tiada banding dan tiada tanding nilai dan harganya, yang sudah semestinya dan sepantasnya patut kita syukuri keberadaannya, agar nikmatnya hidup itu terus tumbuh dan berkembang hingga berbuah manis rasanya.

Jika ada sisi yang terpengaruh kesadarannya, maka sudah pasti ada juga sisi sebelahnya yang tidak terpengaruh kesadarannya, bila ada yang terombang-ambing rasa perasaannya, sebaliknya pasti ada pula yang tidak terombang-ambing rasa perasaannya, keadaan ini disebut sebagai diri yang tenang, dalam suasana tenang, dalam suasana nikmat, dalam suasana kebersyukuran. "Wahai Jiwa yang tenang kembalilah kepada Robmu dengan ridho dan diridhoi, maka masuklah ke dalam golongan hamba-Ku dan masuklah kedalam surga-Ku". [Al-Fajr: 27-30]

Yang terombang-ambing rasa perasaannya merupakan akibat dari sebab kesadarannya tidak berpegang teguh pada Allah. Sedangkan yang tenang, yang rela kembali kepada Allah, pegangannya amat teguh kepada Allah ”WA’TASHIMU BILLAH...”.

“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah kamu sekalian berpecah belah, dan ingatlah nikmat Allah atas kamu...” [Ali Imron ayat 103]

”... Barangsiapa yang berpegang teguh kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. [Ali 'Imran: 101].

”Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus kepada-Nya". [An Nisaa': 175].
[more]

Menggapai Syukur

Tanpa merasakan nikmat-nikmat-Nya, maka tak bisa dipungkiri lagi diri kita tidaklah mungkin dapat menyampaikan terima kasih dengan rasa kebersyukuran yang sesungguhnya. Boleh jadi lisan mampu berkata namun hati tetap kokoh menolaknya. Ini lantaran hati tak tersentuh oleh nikmat-nikmat karena ditutup oleh keangkuhan diri.

Untuk menggapai syukur, ada baiknya kita mulai kembali peduli terhadap peristiwa riil yang terjadi di sekeliling kita. Dengan sikap mau belajar dan bersedia menerima pembelajaran sebagai awal buka kesiapan bertadabbur alam.

Persiapkan indera penglihatan, sediakan pendengaran serta libatkan penginderaan lainnya secara aktif sebagai pintu utama masuknya informasi ke dalam wadahnya yaitu otak. Dengan membaca tanda-tanda kekuasaan [af’al] Nya yang tergelar dalam kehidupan nyata. ”Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang”.

Salah satu fungsi dari otak kita adalah berfikir. Berfikir bila diperhatikan memiliki kecenderungan sulit diistirahatkan keberfikirannya, dan kecenderungan ke arah negatif berfikirnya. Akibatnya arah pikir lebih cenderung kepada buruk sangka ketimbang sangka baiknya, lebih cenderung kepada tidak suka daripada sukanya, dan lebih cederung kepada jeleknya dibanding baiknya.

Stop jangan diteruskan, kalau itu reka-reka pikiran saja. Hentikan dan jangan dilanjutkan, karena semua itu hanya sebatas kira-kira pikiran saja. Karena yang namanya kira-kira dan reka-reka itu bukanlah yang sebenarnya. Sebab yang benar itu bukanlah kira-kira atau reka-reka. Maka, seyogyanya jangan dituruti nafsunya, hentikanlah sifat kenegatifannya, jangan dipersempit kenetralannya dan jangan pula memasung sikap positif thinkingnya.

Berikan kesempatan pada hati kita untuk memahami dengan kelembutan rasa kasih sayang. Adalah suatu kenyataan rasa yang tiada lagi didalamnya terdapat rasa kebencian, rasa kedengkian dan rasa keangkuhan diri. Ini akan lebih bijak dan lebih sehat [positif] bagi diri dalam menangkap nikmat-nikmat Nya yang tak terbatas.

”Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw bersabda: Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat kepada orang yang berada di atasmu karena yang demikian itu lebih layak supaya kamu tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu”
[Bukhari – Muslim].

Lebih aktualnya lagi, mari kita amati perilaku orang yang diberi sesuatu dan atau orang yang ditolong. Karena dari keduanya pasti akan keluar ucapan kata terima kasih kepada yang memberinya dan atau kepada yang menolongnya.

Dalam konteks diatas sesungguhnya telah terjadi perubahan keadaan [kenyataan] yang mempengaruhi rasa diri, pertama adalah keadaan sebelum diberi dengan rasa tiada memiliki sesuatu, kedua keadaan setelah diberi sesuatu dengan rasa memiliki sesuatu. Dan ketiga adalah keadaan berterima kasih dengan rasa syukur.
[more]

Menuju Syukur

Bersyukur buat orang-orang seperti kita mungkin baru sebatas pada keadaan yang enak-enak saja. Tapi tidakkah kita perhatikan bahwa hidup di dunia ini pasti akan bertemu dengan siang dan malam, terkadang terasa manis, kadang juga rasanya pahit. Tidaklah mungkin seseorang hidup dapatnya malam terus atau siang terus, manis terus atau pahit terus. Bilamana saat gilirannya datang, kita bertemu dengan keadaan yang tak enak, dan pahit rasanya, maka mungkinkah kita masih bisa bersyukur?

Bersyukur atas keadaan yang enak itu biasa-biasa saja, karena memang keadaannya lagi enak dan gak ada yang dianggap masalah, maka sudah sewajarnya dan wajar-wajar saja kalau kita bisa mengucapkan terima kasih dengan fasih atau alhamdulillah sekalipun. Tetapi akan jadi luar biasa bila keadaan tidak enak menyinggahi, tapi kita bisa bersyukur. Lho kok bisa? Ya bisa saja, karena memang bersyukur itu tidak akan rugi, dan lagi pun tidak ada sejarahnya yang mengatakan bahwa ada orang merugi gara-gara bersyukur.

Demi masa [1]. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian [2]. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. [3] {al-‘Ashr:1-3}

Orang-orang yang beriman pasti bersyukur, mengapa? Karena mereka tahu dan merasakannya bahwa tidak akan pernah ada di kolong jagat raya ini yang bisa menurunkan ketenangan ke dalam hati, kecuali hanya Allah saja. Dan mereka akan sangat merasa malu sekali kepada Allah bila tak bersyukur. Karena rasa malu mereka adalah bagian dari iman mereka. Itulah ciri khasnya orang-orang yang beriman kepada Allah, yaitu punya rasa malu kepada Allah. Kemudian bila disebut nama Allah, hatinya orang-orang beriman bergetar, lalu menjadi tenang karena diturunkan ketenangan ke dalamnya.

[dikasih enak, nikmat, bahagia, tenang, tentram, kok... enggak mau bersyukur... jadi kita ini maunya apa? kok berani-beraninya kita dustai nikmat-nikmat-Nya? bukankah kita tahu akibatnya? KONTAN! tidak enak, tidak nikmat, tidak bahagia, tidak tenang, tidak tentram, dst.]

Salah satu sikap yang harus ditanam menuju bersyukur kepada Allah adalah sikap merasa untung, beruntung atau diuntungkan, pokoknya semua yang tidak terdefinisi oleh diri kita sebagai rugi, merugi atau dirugikan. Karena yang rugi, yang merugi atau yang dirugikan, jelas tidak enak, jelas tidak nikmat, tidak bahagia, tidak tenang, tidak tentram, dst.

Merasa rugi sebenarnya menjauhkan diri kita dari kesyukuran, karena dengan bersikap seperti ini sama saja kita sudah mendustai nikmat-nikmat Nya yang tak terhitung jumlah bilangan beserta uriannya.

Mari, kita coba buka jendelanya agar kita dapat melihat keluar sana, yang luas, yang sangat luas, yang mungkin belum pernah terlihat oleh mata, terdengar telinga, dan terasakan oleh rasa kita. Mungkin lho..., karena kadang untuk membuka jendela saja susah banget. Ya.. sudahlah. Kita mohon saja rahmat Nya, amin.

Untuk menjawab pertanyaan diatas. Enaknya kita gunakan ilustrasi. Semisal kecopetan. Dompetnya raib dari kantong celana saat di mall. Pemiliknya tersadar saat public information memberitakan temuannya melalui pengeras suara. Singkatnya, dompet diambil kembali oleh pemiliknya dan ternyata uangnya telah melayang. Meski raib uangnya, pak tua itu berucap ”alhamdulillah untung ktp dan sim-nya tidak ikut hilang”.

Bila arah pikir kita tertuju kepada sesuatu yang hilang maka jelas kita akan merasakan kehilangan. Dan bila raibnya uang itu diartikan sebagai rugi maka kita pun akan berada di suasana rasa seperti itu. Semestinya hilang ya hilang saja, jangan ditambah-tambah artinya, karena semakin banyak tautannya kita akan semakin tersika dibuatnya.

Seperti gelap ya gelap saja, jangan diartikan jadi seram, horor, takut dan seterusnya. Manakala kita terlanjur mengartikan gelap seperti diatas, maka jangan heran saat bertemu dengan gelap kita akan merasakan seram, jadi horor, takut dan seterusnya. Ini namanya dipermainkan oleh pikirannya sendiri, ada orang bilang terhipnotis oleh dirinya sendiri.

Ungkapan pak tua adalah ungkapan tersirat dan bukan tersurat. Pak tua hanya mau memandang yang selalu ada, yang tidak akan hilang, yang tidak akan musnah, yaitu wajah Nya, ”inni wajjahtu wajhia lilladzi fathoros samawati wal ardo hanifa”. Orang-orang yang macamnya seperti pak tua ini yang bakal dikasih keuntungan oleh Allah. Karena wajah kesadarannya selalu hadir menghadap kepada Wajah Abadi dengan selurus-lurusnya.

Sehingga apa pun kejadiannya, pak tua bisa dengan rela dan merelakan apa pun ketentuan Nya. Karena kerelaan bagi pak tua adalah nikmat, maka baginya pula tiada rasa sakit meski tampak tersakiti. Jika semuanya sudah menjadi nikmat, maka apapun ketentuan Nya akan menjadi nikmat pula.

Jadi, kebersyukurannya pak tua bukan karena ktp dan sim tidak hilang, akan tetapi karena nikmatnya Allah yang diturunkan lewat kejadian itu. Alhamdulillah.
[more]

 
 

POPULAR Detak Hidup

KOMEN Detak Hidup

BACA Detak Hidup

 

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner